Tuesday 5 February 2013

Andai Aku Menjadi Dian Pelangi


Andai Aku Menjadi Dian Pelangi

Pikiranku tak bisa lepas dari kejadian tadi siang. Pertemuanku dengan gadis berkerudung merah, di warung sebelah pabrik. Perempuan muda yang lugu. Senyum dan mimpi yang sempat ia ungkapkan, membuatku seolah terseret pada masa lalu. Ketika aku baru lulus SMK.
“Mbak! Mbak mirip sama Mbak Dian Pelangi, ih!” serunya sok akrab. Aku hampir saja tersedak mendengarnya. Untung aku ke kafe sendirian tadi.
“Oh iya, Mbak. Pernah ketemuan langsung sama Mbak Dian, enggak? Aku pengen banget ketemu. Kalau kulihat-lihat, wajahnya mirip aku juga, ya! Jadi kalau kita dijejer bertiga, kita kayak kakak beradik, dong! Hihihi… eh, bukan kakak beradik. Tapi aku adik kalian. Mbak dan Mbak Dian kembaran, terus aku jadi adiknya, deh! Hahaha!” cerocosnya ceria. Aku tertawa kecil.
“Kenapa kamu pengen ketemu sama Dian?” tanyaku. Mungkin dia karyawan di sini, jadi benar-benar belum pernah melihatku secara langsung.
 “Siapa yang enggak pengen ketemu sama idolanya, Mbak? Kalau aku ketemuan sama Mbak Dian, aku pengen tanya, rahasia kesuksesannya,” ujarnya. Masih dengan semangat yang sama.
“Kamu pasti bisa kayak dia. Kamu lulusan SMK, kan? Dian juga. Jadi modal dasar kalian sama,” aku mencoba memberi dukungan.
“Tapi Mbak Dian anak orang kaya, sedangkan aku bukan,” suaranya melemah. Ia menunduk sambil memainkan ujung jilbabnya.
“Okelah jika memang itu kamu anggap perbedaan. Tapi perbedaan itu akan semakin tipis jika kamu berusaha lebih keras dari dia. By the way, kamu suka membuat desain, enggak?”
“Suka banget, Mbak! Lihat, ini desainku!” serunya sambil mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya. Aku mengamati desain-desain unik itu. Cantik. Kurasa ia berbakat.
“Eh, kok aku berasa ngobrol sama Mbak Dian langsung, ya? Jangan-jangan…,” gadis itu mengamatiku lebih teliti.
“Tapi, kayaknya enggak mungkin Mbak Dian mau makan di warung beginian. Dia kan yang punya pabrik ini. Lagian, Mbak Dian kan sibuk!” ujarnya meralat pernyataannya sendiri. Aku tersenyum lebar.
Ah Dik, suatu saat jika waktunya lebih memungkinkan, aku akan mengundangmu ke ruanganku. Maaf, saat ini aku sedang agak sibuk. Esok petang sudah harus terbang ke Paris, mengikuti International Fair di sana.***